Cerita Pamali


Tulisan ini diikutkan pada 8 Minggu Ngeblog bersama Anging Mammiri, minggu kedua.

Meski pendaftaran minggu pertama 8 Minggu Ngeblog diperpanjang, tapi ternyata baru sempat ikut di minggu kedua. Heehe... Sudah lama tidak menulis. Mumpung ada lomba, ya ikut saja. Hitung-hitung bisa tetap belajar dan mengasah kemampuan menulis. Oke deh! Let’s get it on.

Indonesia negara yang kaya. Sepengetahuan saya, tidak ada negara sekaya negeri kita ini. Daratan yang subur, tumbuhan yang beraneka ragam, tambang, lautan yang luas dan segala isinya, budaya yang beragam, kepulauan, dan sebagainya. Rasanya tidak cukup menceritakannya dalam tulisan singkat di postingan ini.

Budaya daerah merupakan satu hal yang sangat menarik. Baik itu makanan khas, permainan tradisional, bahasa, perilaku, hingga mitos daerah. Tapi yang paling menarik perhatian saya adalah mitos daerah ini. Kata terdekat dengan mitos adalah pamali. Budaya pamali ini memang sedikit menggelitik. Tidak hanya di sulawesi selatan, suku-suku di Indonesia pasti punya cerita sendiri soal pamali.

Pamali sering kita dengar dari kakek atau nenek kita. Bahkan dari orang tua kita sendiri. Pamali adalah pantangan yang jika dilakukan dipercayai akan menimbulkan hal-hal yang tidak kita inginkan. Budaya pamali merupakan budaya lisan yang punya kekuatan sendiri dalam masyarakat kita. Hal ini memang di luar nalar kita. Namun tradisi lisan ini tetap ada bahkan hingga era digital seperti sekarang ini. Terserah teman-teman bagaimana menyikapinya.

Bugis makassar merupakan dua suku yang masih memegang teguh mitos pamali ini. Dan saya lahir dari keluarga dengan 2 etnis berbeda ini. Ibu saya (almh) adalah seorang bugis tulen asal Soppeng. Sementara ayah saya dari suku Makassar. Sebagai orang yang dibesarkan di keluarga yang kental nuansa daerahnya, sedikit banyaknya saya tentu paham dua suku tersebut, dan banyak mendengar soal perilaku-perilaku yang menurut orangtua saya pamali. Ada beberapa macam pamali yang sering saya dengar di kehidupan keluarga saya.

Sebagai contoh, yang paling populer mungkin ketika kita masih kecil adalah pamali duduk di atas bantal. Duduk di atas bantal dapat menyebabkan bisulan. Meskipun saya tidak menemukan korelasi yang tepat antara duduk di bantal dan efeknya terhadap kesehatan kulit, toh saya tetap menurutinya. Namanya juga anak-anak waktu itu. Tapi ketika orangtua saya tidak melihat, ya saya kembali duduk di atas bantal. Siapa sih yang tidak merasa nyaman duduk di tempat empuk seperti itu. Iya kan?  :D

Ada lagi, Pamali mattula bangi. Atau dalam bahasa indonesia berarti pamali bertopang dagu. Menurut orangtua saya, bertopang dagu merupakan perilaku orang dengan sifat pemalas. Bertopang dagu identik dengan kegiatan menghayal, melamun, dan tentu saja akan menjadikan kita orang pemalas nantinya. Efeknya akan menjadikan kita sial. Begitu katanya. Namun bukankah kita juga sering betopang dagu ketika sedang asyik mendengarkan orang lain berbicara. Asyik menyimak dosen atau guru menjelaskan hal-hal yang menarik buat kita, apalagi pelajaran favorit kita. Sayapun  sering betopang dagu ketika asyik mendengar ceramah jum’at yang menarik. Atau ketika asyik mengikuti rapat di kantor. Teman-teman juga sering kan?
Pamali makan berpindah tempat. Makan berpindah tempat nantinya akan menyebabkan kita poligami. Atau punya istri lebih dari satu. Bagi yang sepakat tentang konsep keadilan berdasarkan kuantitas mungkin malah akan senang melakukan ini. Populasi perempuan kan lebih banyak dari pada laki-laki. Jadi demi alasan keadilan, mereka setuju poligami. :D Saya pribadi tidak setuju poligami. Meski sering makan berpindah tempat :p. Loh? Saya kan tidak percaya pamali yang ini. :D

Pamali makan dengan kuah (sayur) yang banyak. Karena nantinya ketika pesta pernikahan kita, maka akan turun hujan lebat. Sehingga tamu undangan sedikit yang datang. Apa hubungannya coba? Aish!
Pamali menyajikan nasi langsung ke piring makan dari panci yang masih berada di atas kompor. Sebainya gunakan bakul dulu, atau kata ibu saya assajing nanre, baru kemudian kita boleh menyajikan ke piring kita. Efeknya, katanya kita akan selalu jadi objek tuduhan orang  lain ketika masalah. Atau dapat berarti selalu menjadi orang yang disalahkan, dikambinghitamkan.

Masih banyak mitos-mitos soal pamali yang sering kita dengar. Bahkan tak jarang membuat kita gerah. Gerah karena mitos tersebut tidak punya penjelasan logis yang bisa diterima oleh nalar kita. Sama sekali tidak punya korelasi antara mitos dan efek yang mungkin akan terjadi.

Namun, menurut saya, bukan soal efek dari mitos tersebut yang jadi poin penting. Saya mencoba menganalisa dan mengambil sudut pandang dari segi moral dan budaya timur kita. Dan yang saya temukan adalah, mungkin saja orangtua kita sedang mengajarkan kita etika agar kita dapat berperilaku santun terhadap siapapun, terhadap apapun, termasuk terhadap diri kita sendiri. Pendidikan moral yang diajarkan orangtua kita melalui pendekatan adat menurut saya cara cerdas mereka mengajarkan kita tentang budaya kita.

Selalu ada cerita dibalik hadirnya pamali tersebut. Tak jarang ketika saya menyodorkan pertanyaan kepada orangtua saya, tentang mengapa pamali melakukan ini atau itu, selalu saja disambung dengan cerita atau dongen khas masa lalu, tentang kehidupan masyarakat bugis-makassar. Hal ini tentu saja membawa kecintaan sendiri terhadap budaya kita. Dan tentu saja dongeng itu selalu menarik.

Ada cerita pamali apa di daerahmu?

Komentar