Angel


Suatu subuh dalam pelukan dingin. Ia menawarkan senyum merayu. Angel namanya. Aku tau itu nama samaran. Dengan wajah yang asli bugis, sulit mempercayai nama itu. Rambutnya sebahu dengan gaya jaman sekarang. Rebonding dan sedikit shagy.

Pertemuan itu tanpa sengaja. Dengan dahaga tembakau yang memuncak, kutelusuri jalan Boulevard. Sedikit cerita tentang ruas jalan ini. Beberapa tahun belakangan ini, perkembangannya kian pesat. Beberapa hotel sudah banyak yang bermunculan. Apalagi rumah-rumah makan yang cenderung menawarkan menu masakan yang hampir sama. Mie goreng dan nasi goreng.

Perkantoranpun makin banyak. Daerah ini jadi daerah bisnis. Sepanjang sisi kiri jalan yang ada hanya bangunan usaha berbagai jenis. Rumah bernyanyi, hotel, rental VCD, retail, supermarket buah, finance, sampai panti pijat. Praktis area ini jadi bidikan para pengusaha. Inilah salah satu sisi makassar yang berkembang secara fisik. Secara budaya, rasanya perlu ruang diskusi yang lain.

Kembali ke Angel. Sewaktu hendak beranjak dari toko usai menukar 11ribu-ku dengan sebungkus Sampoer*a. Kulihat senyum itu. Ia sendiri. Aku sendiri. Aku tahu ia sedang menunggu seseorang. Bukan aku tentu saja. Tapi kemudian skenario itu kemudian dimulai.

Kudekati ia. Ia biasa saja. Seolah mempersilahkanku. Perkenalanpun berlangsung. Kutawari rokok, diambilnya dua batang. "buat persediaan nanti", begitu katanya. Ya, hujan yang gerimis dengan hawa dinginnya tentu perlu persediaan rokok yang cukup.

Obrolanpun berlangsung. Usianya 25 tahun. Katanya ia berasal dari Pinrang. Aku tahu ia sedang "cari uang" malam-malam begini. Menunggui laki-laki hidung belang yang berminat. Tapi maaf, hari ini aku ingin khusyuk. Aku hanya tergoda karena melihatnya sedikit kedinginan.

Dan...
Tahukah teman. Obrolan itu menemui mata rantainya. Nyambung.

Ia tinggal sendiri di kota ini. Hidup dari bisnis MLM produk kecantikan dan "jualan" tengah malam. Miris mendengar ceritanya. Saat kutanya kenapa ia mengurangi waktu tidurnya dengan melakukan ini semua. Singkat ia menjawab. Takdir.

Aku tertawa dalam hati mendengar jawabannya. Tapi ya sudahlah. Mungkin beginilah bentuk pembelaan diri karena desakan ekonomi. Atau mungkin saja ia benar bahwa ini memang takdirnya. Entahlah.

Kian dalam kita larut dalam obrolan. Rokokku tinggal setengah bungkus. Kuat juga ia merokok. Dia memberiku permen penyegar mulut. Aku masih ingin mendengar ceritanya. Ia pun melanjutkan.

Ternyata, Ia pernah kuliah di jakarta mengambil jurusan Psikologi. Gila..!! Dia sarjana Psikolog. Aku sedikit malu yang hanya lulusan diploma tiga. Ia aktif menulis. Hasil karyanya tersimpan rapi di laptopnya. Tapi belum berani mempublikasikannya. Begitu pengakuannya. Aku makin makin tertarik mendengar ceritanya. Itu juga hobby ku.

Kenapa kau mau melakukan ini semua? Kau kan sarjana Psikolog?. Dia punya beberapa pasien. Meski itu masih dari kalangan kerabatnya. Ia pesimis dengan masa depannya sebagai Psikolog. Katanya lahan kerjanya masih kurang di Kota ini. Dan sejak tekanan hidup makin berat, ia pun menjadi sekarang ini.

Masih banyak hal yang ia ceritakan. Dan pertemuan singkat ini menyimpan banyak hal. Banyak pelajaran. Nanti akan kubahas lebih. Tunggu saja kawan.

Komentar

Posting Komentar