Bukan itu, mengertilah..


Sore itu meninggalkan dua hal. Pertama, aku menemukan sedikit ketidaksenangan di wajahnya begitu melihatku memasuki lesehan milik Pak Dani itu. “30 menit, kau kira itu waktu yang singkat!” begitu aku menerjemahkannya. Tapi kemudian tersimpul senyumnya yang manis. Mencoba memberiku penegasan bahwa beginilah sebaiknya seorang dosen yang bijak memperlakukan mahasiswanya. Berusaha sesenyum mungkin.

30 menit sebelumnya, aku sempat shock. Kaget dan seolah tak percaya tiba-tiba menghantamku. Sebuah pesan elektronik mampir di telepon selulerku yang ketinggalan jaman pada waktu itu. Reni Susanti.

“Makan yuk!”

Hang.

Berani-beraninya seorang dosen mengajakku makan, pikirku kala itu. Apakah ia kehilangan teman? Ataukah ia baru saja mendapatkan omelan dari kepala jurusan tentang kinerjanya selama ini? Atau mungkin ia salah kirim sms? Atau barangkali beginilah cara perempuan yang telah menikah, dengan usia menjelang 30 tahun, mengusir kepenatannya. Analisis terakhir mungkin saja adalah hasil kerja keras bagian sarafku yang menggoyang kenarsisanku. Entahlah. Yang pasti ia tak salah kirim sms.

***

“Sory telat, bu”.

“Ah, tidak apa-apa”.

“Nasi goreng spesial, minumnya jus jeruk, mas”. Katanya pada pelayan yang wajahnya mirip Indra Birowo itu.

“Kamu mau pesan apa, rud?”

“Sama”. Jawabku singkat. Bayangkan! Tentu saja kujawab sama. Aku tak ingin nilai mata kuliahku berubah nantinya hanya karena memesan nasi goreng spesial, plus ayam goreng, dan segelas kopi susu ukuran sedang. Ditambah lagi dengan sebungkus rokok Marlbo*o putih. Gila! Kalu saja ini acara syukuran wisuda, pasti iya. Ini pembelaan yang cukup buatku.

“Gimana Belanda?”. Tanyaku setelah seminggu ia kembali mengajar usai menyelesaikan studinya di negeri kincir itu.

Sebelum ia menjawab pertanyaan sederhana itu, aku tahu, ada skenario yang ia putar ulang di otaknya tentang negeri itu. Antusias aku ingin mendengarnya. Ceritakan saja, bu. Meski sebenarnya bukan cerita itu yang aku ingin nikmati. Tapi lebih kepada ekspresi wajahnya yang lembut, yang begitu bersemangat ketika sedang berkisah. Maka, berkisahlah, bu.

Asal tahu saja. Aku sudah bisa menebak akhir perbincangan kami waktu itu. Kau harus ke Belanda, Rud! Setelah puas menceritakan perjuangannya, studinya, karakter orang-orang eropa, orang Prancis yang katanya sedikit pelit, orang Belgia yang cenderung berdarah seni, dan lain-lain. Aku tahu ia akan mengatakan itu.

***

Kedua. Pertemuan kami waktu itu menyisakan pertanyaan menggantung. Pertanyaan yang sedikit membuatku cemas sebagai seorang mahasiswa.

“Kau harus menabung, Rud! Harus kerja keras dan kau harus merasakan kenikmatan belajar di negeri orang”. Katanya memberiku jalan.

“Iya, bu. Doakan saja”. Kujawab singkat.

“IP-mu sementara berapa?” tanyanya.

Akh, bukan pertanyaan ini yang membuatku cemas. Tolonglah bu. Belajarlah membaca kondisi ini!

Dengan segenap kemampuan dan keberanian. Setelah menyeruput jus jeruknya untuk yang terakhir kalinya. Kuberanikan diri.

“Semua ini Ibu yang bayar kan?”.

***

Komentar

  1. singkat, namun menrik tuk disimak...

    tetaplah bercerita kawan, aku akan tetap setia menyimaknya...

    BalasHapus

Posting Komentar