Angel (part II)


Masih dalam pelukan subuh. Masih dengan atmosfernya yang hening dan dingin. Masih dengan gemericiknya hujan rintik-rintik.
Ia kelihatan lebih cantik dilihat dari samping. Hidung mancungnya yang sedikit memerah karena dingin. Rambutnya yang basah. Wajahnya yang putih.
Ah, angel. Jangan menggodaku.

Aku menunduk. Mencoba tetap berkonsentrasi pada kebohongan putihku. Ya, aku memperkenalkan diriku sebagai Wawan, bukan nama asliku. Selain buat jaga-jaga, rasanya, aku bisa lebih bebas mengorek informasi darinya. Menggali pengetahuan baru darinya.
Jujur saja, ini kulakukan hanya untuk sebagai bahan referensi pribadiku. Tentang mengapa ia sampai berada di sini, menjadi seperti ini. Bukankah ada banyak pilihan yang lebih sehat? Bukankah serius pada bisnis MLM produk kecantikan yang sedang ia jalani itu lebih baik dari pada jualan tengah malam begini? Ini penelitian pribadiku.

“Kau dari media mana?” Tanyanya. Ini probbing.
Aku tahu ilmu ini, angel.

“Aku bukan dari media manapun. Saya hanya ingin ngobrol. Itu saja”. Kali ini aku jujur. Tapi ia cuek saja. Seperti bermasa bodoh apakah aku sedang bohong atau jujur.

“Tahukah kau, wan? Bahwa orang bisa saja melakukan hal apapun saat sedang terdesak?” Ia mencoba mendebatku.

“Loh? Bukannya berdoa dan memohon kebaikan pada Tuhan adalah pilihan yang lebih baik?”

“Kau pikir aku tak melakukan itu? Sok tau!” Ia muai ngambek.

Sejak semester 4, saat masih kuliah di Jakarta. Saat itu ia harus mengambil mengambil semester pendek. Kalau tidak, kuiahnya bakal semakin berantakan. Nilai-nilainya akan semakin hancur. Dan itu tentu saja akan berefek ketika akan mencari pekerjaan nantinya. Belum lagi urusan perut. Ini vital. Apalagi jauh dari keluarga yang tinggal di Makassar. Melihat tuntutan kebutuhan di Jakarta yang tinggi, sulitnya bertahan di arus kehidupan yang cepat, maka masuklah ia dalam cengkraman dunia malam yang instan.

“Ini pilihan. Meskipun bukan pilihan yang sehat seperti katamu”. Ia membela diri.
Kuhisap rokokku dalam-dalam. Mengepulkan asapnya tebal-tebal. Huft.. lebay.
Aku ingat tulisan Djenar. Tentang seorang psikolog yang ternyata lebih gila dari para pasiennya. Mungkin itu juga yang sedang di alaminya. Memang lebih mudah merumuskan solusi bagi orang lain ketimbang bagi diri sendiri.

“Kau punya pacar?” Hati-hati aku bertanya.

“Banyak. Kau tahu si !@#$%^&?”. Sambil menyebutkan salah satu anggota dewan yang namanya cukup populer di kota ini.

“Ia sering tidur denganku.” Lanjutnya.

“Selain itu?” Tanyaku lagi.

“ada seorang pengusaha properti yang sering bolak-balik Jakarta-Makassar. Ada juga seorang duda yang kerja di salah satu bank”. Jawabnya santai.

“Sebenarnya apa yang kau cari?”. Dia tidak langsung menjawab. Malah mengambil sebatang rokok lagi. Ini yang ke-5 dalam 2 jam terakhir.

“Aku mengutuk kehidupan. Aku juga sering bertanya pada diriku sendiri. Kenapa aku sampai pada titik seperti ini?”. Ia mulai mengalir.

“Awalnya, ya sejak kuliah di Jakarta itu. Aku semakin terjerumus. Padahal jika di tanya apakah aku akan terus begini, tentu saja jawabannya tidak, Wan. Aku juga ingin seperti perempuan lain. Menikah, punya keluarga yang bahagia, punya anak, dan sebagainya”.

“Kalau begitu berhenti saja! Apa susahnya?” Aku menyarankan.

“Kau pikir segampang itu?” Ia menoleh padaku dengan alis yang berkerut.

“Atau kau sedang menunggu hidayah dari Tuhan?” Tanyaku sedikit lancang.
Sambil tersenyum dengan makna yang entah, ia berkata, “Sepertinya aku sedang kedatangan seorang ustad subuh-subuh begini”.

Wow, ini mulai alot.

Sejak SMA ia mulai tidak tinggal dengan orang tuanya. Ia memutuskan untuk ke Jakarta, dan pindah sekolah di sana. Kebetulan ia juga punya tante di sana. Ketika itu ia mulai belajar hidup mandiri. Sepulang sekolah ia bekerja paruh waktu di sebuah industri rumahan, industri tas rajutan.

Di sana ia mulai mengenal kehidupan kota Jakarta. Dengan nuansa hedon yang kental. Ia mulai mengenal banyak orang. Mulai punya banyak teman sebaya. Dan mulai tak terkontrol.
Karena belum pandai mengelola uang, dan karena usianya yang masih muda, membuatnya mulai tergiur pergaulan bebas. Penghasilannya dari kerja serabutan dihabiskan untuk hura-hura saja, hanya sebagian kecil yang ia tabung. Ke Mall, café, hingga ke diskotik. Bergaul dengan banyak orang membuatnya makin gila.

Kebiasaan itu terbawa hingga menginjak bangku kuliah. Terlebih sikap keluarga di Jakarta yang acuh tak acuh. Ia kian bebas. Mereka ternyata tak semapan yang ia bayangkan. Pamannya sering ke luar daerah mengurusi bisnisnya. Tantenya lebih sering ke salon, spa, gym, dan arisan. Sementara sepupu-sepupunya jarang pulang rumah.Sampai suatu saat memutuskan untuk ber-rumah kost saja.

Karena kebutuhan perkuliahanya yang besar, dan karena harus membayar sewa kost secara rutin, tabungannya akhirnya mulai menipis. Penghasilannya tak cukup membiayai itu semua. Ia juga sedikit malu untuk minta bantuan ke keluarganya itu. Meskipun tantenya sering berkata, “Kalau butuh sesuatu bilang saja, jangan sungkan-sungkan”. Maka terjunlah ia ke dunia malam yang instan itu.
***

Suatu sore ia bertemu dengan Adrian di sebuah coffee shop di Jakarta Selatan. Katanya ia bekerja di sebuah rumah produksi, kemudian ia ditawari untuk ikut casting sebagai model video klip. Meski tergoda, tapi ia tidak langsung menerimanya. Maklum sudah banyak cerita tentang wanita-wanita yang jadi korban penipuan. Meski begitu, ia tentu saja tetap mempertimbangkannya.

Tiga hari setelah bertemu Adrian, ia memutuskan untuk mencari tahu kebenaran orang itu. Setelah kesana-kemari, mencari info, berkunjung ke rumah produksi tersebut, dan berkenalan dengan Mulan Jameela, ia mulai sedikit yakin dengan orang itu. Tanpa pikir panjang, ia pun menerima tawaran casting tersebut. Agendanya adalah, video klip Wonder Woman-nya Mulan Jameela.

Sumringah ia tentu saja. Tak habis pikir, seorang wanita kelahiran Pinrang yang kebetulan mampir bersekolah di Jakarta, ternyata dapat tawaran syuting dengan Mulan Jameela. Mimpi apa ia. Begitu perasaanya waktu itu. Sampai-sampai ia susah tidur dibuatnya.
Seminggu kemudian ia bertemu lagi dengan Adrian. Membawakannya copy skenario yang akan ia mainkan nanti. Tapi jadwal castingnya belum jelas. Adrian masih harus mengurusi 3D Animator dulu untuk membicarakan tentang konsep dan lighting. Dan ia pun bersedia menunggu.

Seminggu berlalu. Belum ada kepastian dari Adrian. Ia malah lebih sering di ajak clubbing. Lama-kelamaan ia pun jadi sedikit curiga. Terlebih ketika Adrian memintanya untuk bertemu di salah satu hotel untuk membicarakan kepastian rencana itu. Ia makin tambah curiga. Kok harus ketemu di hotel? Bukannya langsung ke kantornya? Tapi demi memuaskan rasa ingin tahunya, ia menurut.

Dan tahukah kawan apa yang terjadi? Adrian malah memintanya untuk menemaninya malam itu. Dengan kondisi yang setengah mabuk, ia berseloroh bahwa jadwal syuting itu di mulai besok lusa. Syaratnya, ia harus menemani lelaki itu sebelum tanda tangan kontrak. Tergoda dengan nilai kontrak dengan jumlah bayaran yang menggiurkan, dan desakan biaya kuliahnya, ia pun menemaninya malam itu. Tapi sampai pagi datang, ia tak pernah melihat kontrak itu?

Sehari, dua hari, tiga hari, seminggu, bahkan sebulan kemudian, ia belum juga mendapat kejelasan. Bertemu dengan Adrian saja jarang. Sampai akhirnya ia yakin bahwa ia telah menambah daftar wanita-wanita korban penipuan. Terlebih setelah melihat tayangan TV, Sandra Dewi dan Cinta Laura menjadi model video klip Wonder Woman-nya Mulan Jameela. Anjrit..!!

Kenapa ia tak pernah terpikirkan bahwa seharusnya ia bertemu Ahmad Dhani, dan bukannya Adrian. Toh, Mulan di bawah bendera manajemen Dhani. Mana bisa ia menyingkirkan dua aktris cantik itu? Bodoh!
***

Sejak saat itulah, ia semakin mengutuk hidupnya. Dan dengan tingkat stres yang mulai meninggi, maka makin menggilalah ia pada kehidupan tak sehat. Demi menyelesaikan kuliahnya, ia mau melakukan apa saja. Malam menjadi waktu terbaiknya mengumpulkan uang. Menerima ajakan lelaki hidung belang, menjual kecantikan dan kelebihan fisiknya yang memang menggoda. Bahkan ajakan dosenpun ia terima hanya untuk nilai mata kuliah yang lebih baik.
Masa-masa sulit dan menjemukan itu akhirnya selesai juga. Setelah berhasil menyelesaikan kuliah dengan cara-cara yang sedikit tidak adil. Seminggu setelah proses administrasi dan menerima ijazahnya, ia berangkat ke Bandara Soekarno-Hatta, menuju Bandara Hasanuddin. Meninggalkan cerita, meninggalkan kebusukan, kembali ke kampung halamannya untuk memulai kehidupan yang lebih baik. Makassar.
***

Hingga dua tahun pasca peristiwa menyakitkan itu, ternyata cerita mirisnya tak berhenti sampai di situ. Angel, kembali ke dunia instan. Takdirkah? Entahlah. Tuhan mungkin menakdirkan seseorang menjadi sesuatu, tapi sepertinya Dia juga berkata, “tapi kau boleh mengubahnya ya!”.

Komentar

  1. apaya..
    gak nyangka kamu sampai ditaraf ini, suprise..
    menceritakan kisah hidup orang lain dari sudut pandang pengamat, memang dagangan yang laris manis..
    bahasamu itu belah.. seperti baca buku best seller saja

    BalasHapus
  2. wkwkwkwk...!! Doakan..doakan.... Amin. MAsih ada segudang. Bakal banyak yang akan menangis nnti. Amin lagi. (penyakit lama mi sede'). Hehehehe

    BalasHapus
  3. ko harus cetak buku.. setidaknya kumpulan cerpen.. atau sekedar antologi..
    bukan bermaksud untuk tujan komersial.. buku itu pahatan prestasi, sepanjang masa

    BalasHapus
  4. Pasti..pasti.. Ikut mako juga. Qt bikin karya deh..!!

    BalasHapus
  5. Wow, sekali lagi wow.
    Sangat mencerahkan membaca postingan ini.

    Kunjungan pertama nih, saya tau blog ini dari milis AM. Salam kenal :D

    BalasHapus
  6. Thanks u indobrad.. Salam AM. Heheheheh

    BalasHapus

Posting Komentar